Labels

Wednesday 27 November 2013

Chandra Kirana #Part 1


Chandra. Semua akan mengira ia laki-laki bila hanya mendengar namanya saja. Padahal ia seorang gadis. Ayah dan Ibunya suka hal-hal yang unik dan tidak biasa, terutama yang berhubungan dengan legenda kerajaan-kerajaan Nusantara zaman dahulu dan pewayangan. Maka mereka menamakannya Chandra, agar berbeda dengan orang lain yang memakai nama itu untuk para anak lelaki. Mereka berharap Chandra pun unik dan berbeda dengan yang lain, tapi pada kenyataannya, Chandra sangat sangat sangat biasa-biasa saja. Bahkan terlalu standar dan tak memiliki keistimewaan apapun sehingga kerap kali orang-orang melupakannya begitu saja.

Chandra. Anak perempuan ini tak memiliki satupun sahabat karib. Teman dekatnya banyak, bahkan kadang ia bingung harus hang-out dengan geng yang mana. Hanya saja, Di antara teman-temannya itu tak seorangpun yang bersahabat dengannya. Entah kenapa. 

Bagi Chandra, sahabat adalah orang yang tahu semua isi hatinya tanpa ada yang ditutup-tutupi, yang memiliki ikatan batin dengannya hingga bisa saling memahami tanpa perlu bicara, dan tak keberatan dengan segala sifat buruknya, juga membuatnya nyaman menjadi dirinya sendiri. Hingga saat ini tak ada seorangpun yang membuat Chandra merasa demikian. Bahkan pada diary pun Chandra tak sanggup membuka dirinya seratus persen. Padahal bagi orang lain, tak ada yang perlu ditutup-tutupi dari sebuah benda mati seperti buku harian, sehingga tak apa-apa kalau jujur pada diary. Well, Chandra tidak. Ia bahkan sering membohongi dirinya sendiri.

Nah, ini adalah kisah Chandra, seorang anak gadis baru gede berusia 16 tahun, kelas 2 SMA, yang sedang dalam tahap pencarian jati diri.

...

Pradnya, Sandra!” panggil seseorang pagi itu saat Sandra dan Pradnya memasuki gerbang sekolah. Itu Tami, teman sekelas Sandra.

“Lagi-lagi ya, lo kenalan pake nama aneh itu,” bisik Pradnya sinis.

Chandra. Ia iri dengan nama yang diberikan orang tuanya pada kakak perempuannya satu-satunya. Pradnya Paramitha. Indah ya? Dibandingkan dengan Chandra Kirana, orang akan lebih memuji nama kakaknya. Biasanya begitu jika ada kerabat jauh keluarga yang datang berkunjung saat mereka masih kecil. Mereka akan tersenyum mendengar nama kakaknya dan memuji kecantikan kakaknya yang sesuai dengan namanya, lalu mengernyit mendengar nama Chandra dan bilang kalau tadinya mereka mengira Chandra anak laki-laki. Barulah setelah orangtuanya menjelaskan arti nama panjangnya -- Chandra Kirana -- orang-orang itu baru paham artinya. Maka Chandra mulai mengubah namanya perlahan-lahan. Saat berkenalan dengan teman-teman baru, ia akan memperkenalkan diri sebagai Sandra. Hingga hanya keluarganya dan tetangga-tetangganya yang mengenalnya sebagai Chandra. Teman sekelasnya yang tiap hari mendengar guru mengabsen dengan memanggilnya Chandra pun tetap mengenalnya sebagai Sandra, karena kebiasaan.

“Hai Tami,” sapa Pradnya dengan ceria. Sandra hanya tersenyum ala kadarnya sambil ikut menyapa. Tami ikut berjalan bersama Pradnya dan Sandra menuju kelas.

“Kalian kok bareng? Rumahnya deketan ya?” Tanya Tami pada Pradnya. Pradnya melirik Sandra dengan wajah sebal.

“Iya, kita tetangga,” sahut Sandra pelan.

“Oh, pantesan,” Tami manggut-manggut. “Sebelumnya di mana? Gue lupa kemaren lo nyebutin gak sih pas perkenalan?”

“Nyebut kok. Tadinya di Kalimantan.”

“Oh iya, Kalimantan. Ya ya ya. Eh Pradnya, nanti siang kan rapat panitia pensi, lo ikut kan?” Tami menggamit lengan Pradnya, lalu mereka berjalan mendahului Sandra, tanpa repot-repot melibatkannya dalam pembicaraan.

“Gue sekretaris, ya pasti ikutlah.”

Sandra menghela napas melihat kepergian Pradnya dan Tami. Ia lalu berjalan pelan-pelan. Memikirkan ekspresi wajah Pradnya yang tampaknya tak suka orang lain tahu jika mereka tinggal serumah dan sebenarnya saudara kandung.

Sandra masuk sekolah di usia muda, sehingga ia dan Pradnya yang perbedaan usianya hanya berjarak setahun duduk di kelas yang sama. Hanya saja mereka harus tinggal terpisah karena perceraian kedua orang tua mereka. Sandra ikut ibunya pindah ke Kalimantan dan Pradnya tetap di Jakarta bersama ayah mereka yang kemudian menikah lagi. Sandra baru pindah ke Jakarta seminggu yang lalu, dan baru sehari bersekolah di sekolah ini.

“Chandra, awas tiang!”

Sandra refleks berhenti tepat di depan tiang yang hampir saja ditabraknya.

“Ckckck. Nggak dulu, nggak sekarang, lo sama aja.”

Seorang murid laki-laki menghampiri Sandra lalu mengacak-acak rambutnya sambil terus berjalan. Di belakang cowok itu ada serombongan gadis-gadis yang dengan berisik mengikutinya. Sejenak mereka berhenti di depan Sandra yang hanya bisa melongo melihat gadis-gadis itu mulai menatapnya dengan tatapan kesal, lalu kembali mengikuti anak laki-laki tadi.

“Siapa dia?” Sandra kebingungan. Perasaan waktu kemarin Sandra mulai masuk kelas, di kelasnya nggak ada murid yang wajahnya seperti tadi. Lalu, darimana dia bisa tau nama Chandra? Lagipula, saat kemarin memperkenalkan diri, ia menyebut namanya Sandra.

Betapa herannya dia sesampainya di depan kelas melihat banyak anak cewek bergerombol di pintu sambil memotret dengan menggunakan smartphone mereka. Dengan susah payah Sandra masuk ke dalam, dan tentu saja, siapa lagi yang mereka potret kalau bukan murid yang tadi. Dia duduk tepat di sebelah kursi Sandra. Pradnya juga ada di kelas itu, sedang membahas sesuatu dengan Tami dan gengnya.

Sambil berjalan menuju kursinya Sandra mengamati wajah cowok itu, dan pahamlah ia kalau cowok itu artis yang sedang naik daun. Sandra sesekali melihat wajahnya di iklan TV. Tapi karena Sandra tidak suka menonton TV, ia jadi tak langsung mengenalinya.

Dengan gaya cool, murid cowok itu menyodorkan kertas pada Sandra saat Sandra baru saja duduk di kursinya, sambil berusaha agar tidak menarik perhatian para fansnya yang sedang bergerombol memotrot-motret dirinya. Sandra membaca tulisan yang tertera di kertas kecil itu. Hanya dua kata. Hai Chunky! Dengan sebuah smiley face.

Refleks Sandra menoleh menatap cowok itu lekat-lekat. Hanya ada satu orang yang memanggil Sandra dengan julukan itu. Duluuu sekali.. Dan kemungkinan besar dialah yang sedang duduk di samping Sandra saat ini. Anak ini!


- Flashback-

“Dimas, kamu kok manggil aku Chunky Chunky sih? Panggil aku Sandra aja,” protes Sandra pada seorang anak laki-laki bernama Dimas. Saat itu Sandra berumur empat tahun. Dimas dan Pradnya lima tahun.

“Chunky itu singkatan Chandra Kirana. Hehehehe,” Dimas tertawa memamerkan deretan gigi depannya yang ompong saat Sandra protes kenapa Dimas selalu memanggilnya Chunky. “Kalo ditulis, tulisannya kayak gini,” lanjut Dimas sambil menyodorkan kertas yang berisi tulisan cakar ayamnya.

“C – h – u – n – k – y.” Sandra yang belum lancar membaca mengeja huruf yang ditulis Dimas satu per satu. “Kayak nama cokelat yang aku doyan,” Sandra membalas senyum Dimas. Lalu Dimas mengeluarkan sebungkus kecil cokelat dari kantongnya.

“Yang ini kan?” katanya menyodorkan cokelat itu ke tangan Sandra.

Sandra langsung melonjak-lonjak kegirangan, sementara tak jauh dari tempat mereka bermain, ada Pradnya yang mengintip dengan tatapan tidak suka.

Sepulangnya Dimas, Pradnya langsung merebut cokelat itu dari tangan Sandra, membuka bungkusnya dan menuang isinya ke tanah. Ia lalu pergi meninggalkan Sandra yang menangis sejadi-jadinya sambil memunguti cokelatnya.

-Flashback end-


“Jadi, lo sekarang berubah jadi Dimas yang beken itu?” Sandra bertanya pelan.

“Lo inget juga akhirnya. Gimana bisa setiap hari muka gue nongol di TV dan lo nggak pernah sekali pun mengira kalo Dimas si Ompong sekarang berubah jadi Dimas si Beken?” Dimas tersenyum sangat manis, membuat para gadis ber – awww cuuuteeee ria dan sibuk memotret.

Untunglah Guru datang sehingga para murid perempuan itu kabur. Pradnya yang berdiri di pintu memandangi Sandra dan Dimas mendengus kesal sebelum berbalik, keluar menuju kelasnya. Sandra melihatnya, tapi Dimas tidak. Sesaat Sandra merasa pindah ke Jakarta dan bersekolah bersama Pradnya adalah sebuah kesalahan besar.


Sandra duduk di kursi taman sendirian sambil memandangi buku yang terbuka di pangkuannya. Sandra senang sekali saat melihat ada taman dengan beberapa pohon rindang yang terawat rapi di sekolah ini. Banyak murid menghabiskan waktu di taman ini saat jam istirahat. Hanya sekedar makan siang sambil bertukar bekal dengan teman-teman yang lain, atau membaca buku. Seperti yang dilakukan Sandra sekarang. Tapi ia tak bisa berkonsentrasi dan hanya melamun saja.

“Seneng ya, ketemu Dimas?” Pradnya bertanya sinis. Ia kemudian duduk di samping Sandra.

“Iya. Udah lama gak ketemu soalnya,” jawab Sandra.

“Kapan lo balik lagi ke Kalimantan? Gue nggak seseneng itu ketemu lo, meskipun sama-sama udah lama gak ketemu.”

“Gue bakal sekolah dan kuliah di sini, kak. Jadi lo harus belajar terbiasa dengan kehadiran gue.”

“Jangan panggil gue kakak,” desis Pradnya kesal.

“Dan lo juga harus belajar terima kenyataan kalo lo memang kakak gue,” sahut Sandra.

Pradnya sudah akan menjawab tapi handphone Sandra berdering, dan Sandra mengangkatnya. “Ibu?” sapanya ceria.

Ekspresi Pradnya mengeras begitu mendengar siapa yang menelepon Sandra. Ia berdiri dan hendak pergi, tapi Sandra menahan lengannya.

“Iya Bu, Sandra udah masuk dari kemaren. Tebak Sandra ketemu siapa? Dimas! Yang dulu ompong itu loh Bu. Hahahaha.”

Entah apa yang diucapkan Ibu yang membuat Sandra tertawa lepas. Baru kali ini Pradnya melihat tawa adiknya sejak seminggu mereka bersama. Pradnya berusaha melepaskan cengkeraman Sandra saat Sandra menyebut namanya.

“Iya, sekarang Sandra lagi sama Kak Pradnya,” Sandra kemudian menyodorkan handphonenya. “Ibu mo ngomong sama lo, Kak.”

Tenggorokan Pradnya tercekat. Segera setelah Sandra melepaskan tangannya, Pradnya mengambil handphone Sandra dan melemparnya dengan sekuat tenaga. Handphone malang itu menghantam batu dan hancur.

“Kak Pradnya! Apa-apaan sih?” teriak Sandra kaget. Beberapa siswa yang ada di taman itu memperhatikan mereka.

“Jangan pernah sekali-sekali, lo sebut-sebut soal perempuan itu di depan gue,” Pradnya memarahi Sandra dengan berbisik. Bibirnya bergetar dan matanya berkaca-kaca. “Jangan pernah lagi lo lakuin hal bodoh kayak tadi, paham?” Pradnya menatap Sandra dengan penuh kebencian, lalu pergi dengan mengepalkan tangannya.

Sandra hanya memandangi kepergian Pradnya dengan sedih. Ia lalu berjongkok dan memunguti handphonenya yang hancur. “Seenggaknya sim card gue nggak ikut rusak, jadi masih bisa dipakai.”

“Nih, pakai handphone gue,” Dimas yang entah sejak kapan ada di situ, menyodorkan Handphonenya pada Sandra.

Ragu-ragu Sandra menerima handphone itu. “Makasih ya.”

Sandra lalu duduk bersandar di kursi taman. Hanya memejamkan mata dan menghela napas. Dimas duduk di samping Sandra. Ia mengambil handphone dan sim card di tangan Sandra dan memasangkannya.

“Lo marah ya sama kakak lo yang childish itu?”

“Banget, Mas. Nggak ngerti apa yang ada di pikirannya.”

“Sabar sedikit ya. Dia cuma belum terbiasa aja. Sebenarnya dia juga kangen sama lo.”

Sandra tersenyum, masih tetap memejamkan matanya. “Dari mana lo tau?”

Dimas tertawa. “Selama seminggu sebelum lo dateng, Pradnya super sibuk. Dia yang nyiapin kamar lo, Chunky. Gue nemenin dia beli segala pernak-pernik kamar lo, ngecat, pilih furniture. Meskipun dia bilang semua yang dia lakuin karena paksaan Ayah kalian, tapi gue tau itu bohong. Sama kayak waktu dia bilang terpaksa nerima gue jadi pacarnya beberapa tahun yang lalu. Dia cuma unik dalam menunjukkan rasa sayangnya.”

“Jadi, lo selain Dimas yang beken, juga Dimas calon kakak ipar gue?”

“Sst. Jangan keras-keras. Kalau orang lain tau, Pradnya bisa jadi inceran infotainment. Dah ya, gue duluan.” Dimas meletakkan handphonenya di pangkuan Sandra lalu pergi meninggalkan Sandra.

Sandra tak membuka matanya. Takut jika ia melakukannya airmatanya akan keluar dengan deras dan mempermalukannya. Baru sesaat lalu ia terbahak mendengar Ibu berkata kalau akhirnya Sandra bertemu cinta masa kecilnya dan itu pasti menyenangkan. Tapi cinta masa kecil itu kini menggenggam tangan orang lain. Dan orang lain itu kakaknya sendiri.

“Plok!” Tiba-tiba seseorang memecahkan sesuatu di kepala Sandra. Sandra membuka matanya, tangannya meraba cairan lengket di rambutnya. Telur mentah!

“Rasain lo! Itu akibat buat anak baru yang belagu.”

Segerombolan anak perempuan yang tadi pagi mengikuti Dimas kini berdiri membentuk lingkaran mengelilingi Sandra.

“Argghhhh!” teriak Sandra frustasi. “Ada masalah apa sih kalian sama gue?!”

“Pake nanya lagi!” bentak seorang di antara mereka. Tampaknya dia juru bicara mereka. “Kita yang udah berbulan-bulan ngintilin Dimas kemana-mana belum pernah diajak ngobrol akrab sama dia. Berani-beraninya lo yang baru dateng sehari langsung ngerebut Dimas kita!!!”

Lalu bertubi-tubi telur mentah menyerang Sandra yang hanya bisa terduduk lemas.


Bersambung..